Minggu, 03 Januari 2010

Presiden Diminta Tentukan Penyelesaian RTRWP Kalteng

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono diminta menentukan kepastian batas waktu penyelesaian rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang pembahasannya macet di Departemen Kehutanan selama dua tahun terakhir.
“Kami akan minta agar Presiden menetapkan batas waktu penyelesaian RTRWP Kalteng selambatnya pada Oktober mendatang,” kata Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, di Palangkaraya, Senin.


Rencananya, jajaran pemda se-Kalteng akan bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka Jakarta, Selasa besok (26/5), guna menyampaikan persoalan RTRWP yang tidak pernah disetujui pemerintah pusat sejak provinsi itu berdiri 52 tahun lalu.

Dalam pertemuan itu, Teras Narang akan didampingi 14 bupati/walikota se-Kalteng, pimpinan DPRD se-Kalteng, dan para tokoh masyarakat setempat.

Menurut Teras, pertemuan dengan Presiden Yudhoyono itu merupakan tindak lanjut desakan Presiden kepada Menteri Kehutanan MS Kaban agar tidak mempersulit proses penetapan RTRWP Kalteng setahun lalu.

“Selama setahun sejak Presiden menyoroti RTRWP Kalteng, tidak ada tindak lanjut konkret untuk penyelesaiannya dari Dephut,” katanya.

Ia mengatakan, dalam beberapa permasalahan pemerintah pusat bahkan harus berani mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menyelesaikan RTRWP Kalteng tersebut.

Aturan hukum itu diperlukan untuk memproteksi kebijakan tata ruang di daerah.

Teras juga mengatakan, penyelesaian RTRWP merupakan kebutuhan utama dalam upaya pembangunan daerah sehingga Kalteng tidak mau hanya pertemuan itu hanya sekedar menghasilkan wacana penyelesaian tanpa kepastian.

Berebut Hutan

Permasalahan RTRWP Kalteng dipicu perbedaan alokasi kawasan hutan antara Perda Kalteng Nomor 8 Tahun 2008 Tentang RTRWP dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Dephut.

Dari sekitar 15,3 juta hektare luas Kalimantan Tengah, baru sekitar 7,7 juta hektare yang sudah sesuai peruntukannya dan terakomodir dalam Perda RTRWP Kalteng maupun dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan.

Sisa kawasan hutan lain seluas 7,56 juta hektare masih tidak sesuai peruntukannya karena kegiatan konversi hutan umumnya menjadi lahan perkebunan dan pertambangan.

Save Our Borneo sebuah lembaga peduli penyelamatan lingkungan hidup Kalimantan, sebelumnya telah mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan bongkar ulang draft revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) setempat yang dinilai hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan.

“Kami menilai Raperda RTRWP Kalteng harus dibongkar ulang dan dilakukan proses penyusunan kembali karena sarat kepentingan investasi dan eksploitasi lahan yang dibagi-bagi,” kata Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin.

Sementara DPRD Provinsi Kalteng sebelumnya juga mendesak pemerintah daerah setempat menerapkan prinsip kehati-hatian yang tinggi dalam mengkonversi kawasan hutan menjadi kawasan lain non-hutan.

Kalangan anggota dewan menyarankan agar pemerintah daerah lebih memilih memanfaatkan lahan-lahan kritis untuk diubah menjadi perkebunan, hutan tanaman industri maupun dihutankan kembali.

Menurut Anggota DPRD Kalteng lainya, Kimin E Subroto, kenyataan hutan Kalteng seluas 67,04 persen ternyata tak lebih baik mengingat jutaan hektare di antaranya telah mengalami deforestasi.

“Sebagian besar karena konversi lahan perkebunan kelapa sawit. Masuknya PBS sawit disamping memberikan warna baru, telah berdampak juga pada lingkungan sekitar,” ucapnya.(*)



Tumpang Tindih Perkebunan Sawit di Kotim Jadi Bom Waktu Laporan:

BANYAKNYA perkebunan besar sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur ( Kotim) Kalimantan Tengah ( Kalteng) seluas 500 ribu hektar lebih, mampu meningkatkan geliat ekonomi secara multi efek player.
Kabupaten Kotawaringin Timur Bumi Habaring Hurung Tumpoang Tindih Perkebunan Sawit di Kotim Jadi Bom Waktu Hutan Dibabat Kera Menyerang Pedalaman BANYAKNYA perkebunan besar sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur ( Kotim) Kalimantan Tengah ( Kalteng) seluas 500 ribu hektar lebih, mampu meningkatkan geliat ekonomi secara multi efek player. Bahkan, banyaknya rekrutmen tenaga kerja , baik tenaga warga lokal maupun pendatang dapat mengurangi pengangguran. Disamping semakin tingginya intensitas mobilitas orang dan barang serta semakin maraknya pembangunan infrastruktur menunjang beroperasionalnya produksi sawit. Perusahaan maupun pembangunan infrastruktur pembangunan jalan dan pelabuhan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan adanya investasi perkebunan di daerah tersebut. Tetapi disisi lain, persoalan tumpang tindih lahan, baik dengan masyarakat maupun pihak perkebunan dengan perusahaan pertambangan adalah persoalan lain yang jika tidak ditangani secara bijak akan menjadi bom waktu yang merugikan investor, daerah dan masyarakat itu sendiri. Disamping lingkungan hidup yang berubah, adanya kawasan hutan yang digilas alat-alat berat untuk lahan penanaman sawit, membuat binatang seperti orang utan, beragam jenis kera dan burung-burung langka lenyap entah kemana. Menurut seorang warga pedalaman Kotim yang bernama Martha Erwin, 55, ia merasa sedih karena banyak kera menyerang kampungnya mencari makanan akibat hutan disekitar kampungnya dibabat dan berubah menjadi tanaman sawit. Menurut Yusup Syahran anggota DPRD Kotim dari komisi C mengatakan, dari 61 izin perkebunan sawit yang beroperasi didaerah ini, sebagian besar bermasalah. Setidaknya ada beberapa permasalahan utama yang hingga kini belum mendapat perhatian serius Pemkab setempat. Menurut versi Yusup, ada sebagian perusahaan yang melakukan perluasan wilayah kerjanya secara sepihak dengan melakukan invansi terhadap tanah dengan cara membeli dan tidak sesuai dengan luasan ijin lahan yang digarap . Sehingga status lahan yang dimiliki perusahaan masih bias, karenanya keabsahan lahan yang diberikan kepada perusahaan perlu diinventerisasi ulang. Hal ini untuk mengetahui, apakah lahan itu sudah berada dilahan yang sesuai atau tidak. Sebab dari segi aturan perijinan perkebunan harus berbasis tata ruang dan berada diluar kawasan hutan. Selain itu, kata Yusup Syahran, soal tumpang tindih lahan dengan masyarakat sekitar . Hanya dengan berbekal ijin yang dimiliki ,para investor seringkali melihat permasalahan klaim lahan oleh masyarakat bukan masalah yang prinsip. Sehingga respons perusahaan atas kasus gugatan ditanggapi sambil jalan. Ir Jakatan, Kepala Dinas Perkebunan Kotim ketika ditemui Pelita menegaskan, idealnya ketika perusahaan perkebunan hanya memiliki izin lokasi memang tidak dilakukan penanaman sawit. Tetapi karena ada kebijakan sambil menunggu terbitnya Hak Guna Usaha ( HGU) yang memerlukan waktu bertahun-tahun , mereka diperkenankan melakukan penamaman. Kita ingin memberikan kemudahan ini kepada investor yang menanamkan investasinya di bidang perkebunan sawit, tuturnya dan diakui Jakatan klaim ganti rugi tanah oleh masyarakat merupakan persoalan klasik yang hingga kini tidak pernah tuntas Sementara, pihak perkebunan sawit yang enggan jati dirinya disebutkan apakah investor nasional maupun asing seperti dari Malaysia, menanamkan investasinya di bidang perkebunan sawit nilainya bukanlah sedikit. Tentu mereka menginginkan investasinya yang mereka tanamkan akan berhasil. Untuk itu harus ada kepastian hokum dan rasa aman. Bayangkan , klaim ganti rugi dimana pada obyek lahan yang sama terkadang kewpemilikan yang mengaku itu miliknya jumlah orangnya bisa lebih dari tiga orang. Sehingga jika dikalkulasi jum lah tuntutan ganti rugi lahan oleh warga jumlahnya melebihi luas lahan yang dimiliki perkebunan. Kenapa terjadi pula tumpang lahan perkebunan dengan izin pertambangan yang diberikan, saya kira ini persoalan dari birokrasi dan untuk memberikan pelayanan terbaik saya kira reformasi birokrasi harus dilakukan, tuturnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda