Minggu, 03 Januari 2010

KASUS PERKEBUNAN SAWIT DI KALTENG

Pengaruh Pembangunan Perkebunan Sawit
Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan
Mashudi Noorsalim

Pembangunan perkebunan sawit dianggap dapat menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.


Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber pendapatan daerah yang besar dan dapat menyerap tenaga kerja. Namun, pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak selalu berjalan lancar, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa pembangunan tersebut justru menghalangi akses terhadap sumberdaya alam. Tulisan ini akan mendikskusikan proses masuknya perkebunan sawit,dan pengaruhnya terhadap masyarakat di Desa Sembuluh. Pembangunan Perkebunan Sawit di Kabupaten Seruyan Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 disebutkan bahwa titik berat dan skala prioritas rencana pemerintah daerah untuk lima tahun berikutnya adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan globalisasi ekonomi”. Hal tersebut akan dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan dan kehutanan, industri dan perdagangan, pertambangan dan sektor pariwisata yang di dukung oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai. Dengan mengembangkan sektor-sektor tersebut, diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang akan dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan publik bagi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian oleh Pemerintah Provinsi Kalteng adalah sektor perkebunan. Seperti diberitakan di berbagai media dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan perkebunan sawit di Kalteng mengalami perkembangan yang pesat. Dari data tahun 2004, tercatat 75 perusahaan perkebunan sawit yang mengajukan dan yang diberikan izin sudah mengkonversi lahan tidak kurang dari 750 ribu hektar. Pemerintah Provinsi Kalteng berencana akan membangun perkebunan sawit sejuta hektar dengan memanfaatkan lahan yang tersedia sekarang 1,7 juta hektar. Rencananya, perkebunan sawit tersebut akan dibangun di Kobar dengan luas 300 ribu hektar , di Kotim dan Seruyan dengan luas 400 ribu hektar, serta 300 ribu hektar di Barito dan Kapuas.[1] Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalteng dimulai pada tahun 1992, yaitu ketika beberapa perusahaan swasta membuka lahan di Kotawaringin Barat (Kobar) dan Kotim. Pada awalnya, pembangunan perkebunan sawit difokuskan di bagian Barat Provinsi Kalteng, sehingga pada tahun 1995 wilayah tersebut telah siap produksi. Sedangkan di bagian Timur masih dalam tahap pembukaan lahan (land clearing). Kemudian sejak tahun 1998, terjadi ekspansi secara besar-besaran di subsektor perkebunan sawit hingga empat tahun kemudian. Beberapa perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di sana adalah: PT. Astra Argo Lestari Group, PT. Asam Jawa Group, PT. Graha Group, PT. Salim Group, PT. Sinar Mas Group, dan lain-lain. Namun, tidak terdapat satu pun perusahaan milik negara atau pun perusahaan milik pemerintah daerah hadir di sana. Jumlah penduduk Provinsi Kalteng pada tahun 2002 berjumlah 1.874.900 jiwa dengan perbandingan 49% perempuan dan 51% laki-laki. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk menunjukkan tingkat kepadatan penduduk Provinsi Kalimantan Tengah tergolong kurang padat yaitu 12 jiwa/Km. Terdapat perbedaan kepadatan penduduk yang cukup berarti, dimana Kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi Kalteng merupakan kota dengan kepadatan paling tinggi 71,50 jiwa/KM2, sedangkan Kabupaten Barito Utara merupakan Kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu 6,30 jiwa/KM2. Area hutan yang luas yang dimiliki merupakan sumber ekonomi yang sangat berarti dalam menggerakkan roda pembangunan Provinsi Kalteng. Terlebih setelah keluarnya beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besar telah berlangsung di wilayah ini. Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan HPH yang beroperasi sejak awal tahun 1970-an di hampir seluruh wilayah provinsi ini. Tercatat tidak kurang dari 116 perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan luas area konsesi 12.023.000 hektar. Klasifikasi Hutan Menurut Fungsi dan Luasnya (Tahun 2002)[2] No Wilayah hutan Luas (Ha) 1 Hutan lindung 1.029.527,32 2 Hutan suaka alam & wisata 744.596,00 3 Hutan produksi terbatas 4.056.911,60 4 Hutan produksi tetap 4.461.322,88 5 Hutan bakau 832.573,55 6 Hutan rakyat 13.359,00 7 Cagar alam 218.534,57 8 Taman nasional 409.861,86 9 Cagar budaya 678,12 10 Taman wisata 17.128,96 11 Suaka margasatwa 72.898,33 Perkembangan industri diKalteng pada umumnya, dan Kabupaten Kobar, dan Kotim (termasuk Seruyan) sedang mengalami proses transisi dari industri kayu menjadi perkebunan berskala besar. Meskipun industri kayu masih merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup besar, namun dengan semakin menipisnya hutan yang tersedia telah membuat pemerintah daerah mencari alternatir sumber pendapatan daerah yang lain. Sebagai misal, antara tahun 1994 hingga 1997, di Kabupaten Kotim telah terjadi peningkatan luas area perkebunan sawit swasta yang cukup besar dari 10.987 hektar menjadi 52.595 hektar, sedangkan perkebunan sawit smallholder meningkat dari 3.218 hektar menjadi 10.641 hektar. Menurut survei yang dilakukan oleh JICA, pembangunan perkebunan sawit dalam skala besar sangat potensial dilakukan di wilayah Danau Sembuluh dan sekitarnya.[3] Hal itu dikarenakan wilayah tersebut relatif datar, tanahnya sangat cocok dan kepadatan penduduknya sangat rendah. Jika pembangunan jalan dilakukan, maka akses transformasi ke daerah itu menjadi sangat mudah. Pada bulan Februari 2004, telah terdapat 26 investor Perusahaan Besar Swasta (PBS), baik dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke Kabupaten Seruyan. Total investasi diperkirakan mencapai Rp 15,6 Trilyun dengan rincian masing-masing pengusaha menanamkan modalnya Rp 600 Milyar dan setiap investor rata-rata memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas 20.000 hektar. Hingga bulan Juni 2004, perusahaan Sawit yang telah mengajukan izin bertambah menjadi 33 perusahaan dan yang sudah memperoleh izin sebanyak 16 perusahaan perkebunan dan yang sudah beroperasi sebanyak 11 perusahaan perkebunan sawit dan enam CPO. Sejumlah investor juga menyatakan bersedia untuk membangun pelabuhan dan pabrik pengolahan minyak (CPO). Dengan demikian, diharapkan program pekerbunan sawit akan menarik sebanyak lebih 1.000.000 tenaga kerja. Pemerintah Kabupaten Seruyan berencana membangun pelabuhan khusus minyak kelapa sawit mentah yang akan diberi nama Pelabuhan Samudra CPO Teluk Segintung. Pelabuhan ini akan dibangun dengan luas 500 hektar dan jika dibangun sesuai dengan rencana, maka pelabuhan ini akan menjadi pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Biaya pembangunan pelabuhan Segintung akan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005, dan tahun berikutnya. Dengan pembangunan pelabuhan ini, pemerintah berharapdapat menarik lebih banyak investor dari luar maupun dalam negeri ke Seruyan, terutama investasi dalam pembangunan pabrik CPO. Hingga saat ini, di Seruyan telah terdapat 23 pabrik CPO, sembilan di antaranya sudah beroperasi, dan satu lagi masih dalam tahap pembangunan. Meskipun hingga saat kini, sektor kehutanan[4] masih menjadi andalan sumber pendapatan daerah Kabupaten Seruyan, namun ke depan, tampaknya perkebunan akan menjadi primadona sumber pendapatan daerah. Terutama perkebunan kelapa sawit yang telah menjadi aset perkebunan utama selama ini. Pada saat ini, pembangunan perkebunan kelapa sawit telah menempati lahan seluas 78.871 hektar, dan terus dikembangkan dengan membuka lahan-lahan baru. Pusat tanaman kelapa sawit berada di tiga dari lima kecamatan, yaitu Danau Sembuluh, Hanau, dan Seruyan Tengah. Akan tetapi, yang baru tercatat menghasilkan di Kecamatan Hanau dengan produksi 2.814 ton.[5] Pengembangan ekonomi di kabupaten ini didasarkan pada karakteristik masing-masing kecamatan. Jika Seruyan Tengah, Hanau, dan Danau Sembuluh memiliki perkebunan kelapa sawit, Seruyan Hulu memiliki rotan, Seruyan Hilir memiliki wilayah potensial bagi pengembangan budidaya tambak udang dan area persawahan. Dibandingkan dengan kecamatan lain, Seruyan Hilir terhitung memiliki jenis tanah yang lebih baik untuk ditanami padi atau tanaman pangan lainnya. Hasil tambak yang di antaranya budidaya udang windu biasanya dibawa ke Pulau Jawa kemudian diekspor ke mancanegara, khususnya Jepang ton.[6] Masuknya perkebunan Sawit di Sekitar Sembuluh Secara administratif, sejak tahun 2003, Kecamatan Danau Sembuluh berada di wilayah Kabupaten Seruyan. Sebelumnya, Danau Sembuluh termasuk dalam wilayah Kabupaten Kotim. Pembentukan Kabupaten Seruyan berdasarkan UU RI No. 5 Tahun 2002 yang termuat dalam Lembaran Negara RI No. 18 tahun 2002. Kabupaten Seruyan memiliki wilayah seluas 16.404 kilometer persegi yang terdiri dari lima kecamatan dan 91 desa. Menurut data tahun 2004, Kabupaten Seruyan memiliki jumlah penduduk sebanyak 112.767 jiwa, dengan kepadatan penduduk berkisar 6 jiwa/kilometer persegi dan pertumbuhan penduduk 5,59%. Berdasarkan paparan Bupati Kabupaten Seruyan tahun 2004, telah terdapat 32 PBS yang akan beroperasi di Seruyan, baik yang berasal dari investasi dalam negeri maupun asing (PMDN/PMA).[7] Saat ini sembilan PBS telah beroperasi dan memiliki pabrik CPO. Sebanyak 16 PBS sedang menjalankan kegiatannya yang diperkirakan telah mencapai 50-70%. Kemudian sebanyak tujuh PBS telah mendapatkan izin dan sedang mengurus izin lokasi, sedangkan lima PBS masih menunggu memperoleh izin prinsip/lokasi. Diperkirakan pada tahun 2009/2010, sebanyak 25 PBS akan beroperasi dan memiliki CPO, dan tujuh PBS lainnya akan beroperasi pada tahun berikutnya. Total nilai ivestasi dari ke 32 PBS diperkirakan sebanyak 15 hingga 19,2 triliun rupiah. Nilai tersebut berdasarkan asumsi yang dibuat oleh Bupati Seruyan, yaitu: nilai investasi untuk satu hektar membutuhkan dana sebanyak 25 juta rupiah dengan perincian biaya sarana jalan,tempat-tempat ibadah, kesahatan, pendidikan, penerangan, perumahan karyawan dan perkantoran; pembangunan pabrik CPO dengan kapasitas 60 ton TBS per jam membutuhkan dana sebanyak 100 milyar rupiah, sedangkan pabrik CPO dengan kapasitas 90 ton TBS per jam membutuhkan dana sebanyak 120 milyar rupiah; dan nilai investasi satu PBS dengan luas lahan sekitar 20 ribu hektar, dimulai dari perencanaan, penyediaan lahan, pembibitan, perawatan, produksi hingga pembangunan CPO membutuhkan dana sekitar 600 milyar rupiah. Untuk ke 32 PBS tersebut, Kabupaten Seruyan telah menyediakan lahan seluas 450.175 hektar untuk perkebunan sawit. Kecamatan Danau Sembuluh memiliki wilayah seluas 250.000 hektar. Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim tahun 2001, jumlah penduduk kecamatan Danau Sembuluh adalah 10.409 jiwa.[8] Semula. Sebagian besar wilayah Kecamatan Dana Sembuluh merupakan hutan komersial, namun dalam paduserasi RTRWP yang terbaru wilayah tersebut akan dipergunakan untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit. Dalam beberapa tahun terakhir, BPN telah memberikan izin konsesi untuk perkebunan sawit kepada 10 perusahaan di wilayah Kecamatan Danau Sembuluh dengan luas 213.360 hektar. Namun, pada pertengahan tahun 2000, kementrian kehutanan dan perkebunan telah memberikan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 40.570 hektar kepada tiga perusahaan, yaitu PT Musi Rawas Citra Harpindo, PT Bina Sawit Abadi Pratama I and PT Agro Indomas (AI), yang kemudian mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN. Pada tahun 2000 total area yang telah ditanami 16.142 hektar (Casson, 2001). Perkebunan sawit di Kecamatan Danau Sembuluh dan sekitarnya[9] No Perusahaan Lokasi Izin Luas Area (HGU) 1. PT.Agro Indomas (1996) Kec. Danau Sembuluh HGU 12,104 ha (12/HGU/BPN/98-6 April 1998) 2. PT. Mustika Sembuluh Kec. Mentaya Hilir (Kuala Kuayan) Kotim SK-Pelepasan Kawasan 15,994 ha (895/Kpts-II/1996.4/11/1996) 3 thn 9 bln 3. PT. Indotruba Timur Kec. Pembuang Hulu Izin Prinsip 9,750 ha (895/Menhut-VII/97.8/8/1997) 4. PT. Salawati Makmur Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip 16,850 ha (487/Menhutbun-II/98. 8/4/1998) 5. PT. Rungau Alam Subur. Kec. Danau Sembuluh Izin prinsip 6,725 1625/Menhutbun-II/96.11 Nop.1996) 6. PT. Salonok Ladang Mas Kec. Danau Sembuluh Izin Prinsip 12,715 ha (951/Menhutbun-VII/97. 26/8/97) 7. PT. Sawit Mas Nugraha Perdana Kec. Danau Sembuluh Menyampaikan Permohonan. 12.000 ha (525/67/UT/1995.17/4/1995) Perusahaan perkebunan sawit yang pertama kali masuk ke Sembuluh adalah PT Agro Indomas (PT AI) pada tahun 1996. Sebelum tahun 1996, PT AI bernama PT Bohindomas Permain yang sahamnya dimiliki oleh tiga perusahaan Malaysia yaitu Agro Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, and Cosville Holding Sdn Bhd, dan tujuh pengusaha asal Indonesia.[10] Pada bulan Desember 1996, Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan izin kepada PT AI untuk membangun perkebunan sawit seluas 12,104 hektar dan membangun pabrik CPO dengan kapasitas produksi 60 ton per jam di wilayah Danau Sembuluh. Pada saat itu, Danau Sembuluh masih menjadi wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Pada tahun 1999, sebagian besar konsesi yang diberikan telah ditanami, dan PT AI mengajukan konsesi tambahan seluas 3,760 hektar yang izinnya keluar pada tahun 2000. Diperkirakan, total investasi yang dikeluarkan oleh PT AI adalah 43 juta dollar Amerika yang kebanyakan dibiayai oleh Rabobank Internasional dan Commonwealth Development Corporation (CDC) yang bermarkas di Inggris. Menurut survei awal yang dilakukan oleh PT AI, sebagian besar lahan yang sekarang ditempati merupakan alang-alang karena bekas perusahaan kayu Inhutani III. Oleh karena itu, perusahaan tidak perlu mendapatkan Izin Penebangan Kayu (IPK), melainkan hanya izin pelepasan kawasan, dan Hak Guna Usaha (HGU) (Casson, 2001). Namun, hasil penelitian ANDAL yang dilakukan oleh PT Shantika Mitra Wiguna pada tahun 1998, menyatakan bahwa sebagian besar konsesi yang diberikan kepada PT AI merupakan hutan sekunder di bawah Kementrian Kehutanan. Secara administratif, area perkebunan sawit milik PT AI berada di wilayah desa Sembuluh I. Namun, Desa Sembuluh II dan Dusun Lampasa merupakan desa yang berada di dekat lokasi perkebunan PT AI juga ikut terpengaruh atas hadirnya perkebunan tersebut. Kehadiran PT AI telah menimbulkan gejolak di masayarkat Sembuluh. Hal ini dikarenakan cara mereka mengakuisisi lahan perkebunan yang dianggap secara sepihak oleh masyarakat. PT AI mulai membuka lahan sejak tahun 1996, dengan melakukan pengukuran dan land clearing tanpa terlebih dahulu melakukan perundingan dengan masyarakat. Bahkan proses akusisi kebun dan ladang dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat. Pada saat itu, PT AI didukung oleh birokrasi dan aparat pemerintahaan. Setelah masyarakat mengetahui adanya penggarapan lahan tersebut, terjadi terjadi gejolak di masyarakat. Pada saat itu, masyarakat belum berani melakukan demonstrasi karena dianggap berbahaya bagi negara. Namun ketika kekuasaan Orda Baru runtuh pada tahun 1998, masyarakat baru berani melakukan demonstrasi. Barulah kemudian, PT AI bersedia melakukan negosiasi dengan menawarkan biaya ganti rugi lahan yang telah digarap masyarakat selama bertahun-tahun dengan uang sebesar Rp 50 permeter persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 untuk lahan ladang dengan tanaman ringan. Tawaran tersebut dianggap merugikan masyarakat, sehingga masyarakat semakin marah dan melakukan sabotase dengan melakukan pemotongan jembatan yang biasa digunakan PT AI untuk menggarap kebunnyapada anggal 11 Nopember 1999. Tentang akuisisi lahan secara sepihak memang merupakan strategi yang dijalankan oleh PT AI sebelum 1998. Seperti diakui oleh Berty, staf PT AI, mengemukakan bahwa perusahaan menerapkan strategi yang berbeda dalam mengakuisisi lahan milik masyarakat sebelum tahun 1998 dan setelah tahun 1998. Jika sebelum tahun 1998, perusahaan membuka dan menggarap lahan terlebih dahulu tanpa bernegoisasi dengan masyarakat Sembuluh. Karena pada prinsipnya, perusahaan perkebunan sawit telah memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Kotim.[11] Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan milik masyarakat. Selain itu, menurut Berty, konteks politik saat itu memang memberikan peluang lebih besar kepada pemiliki modal daripada kepada masyarakat. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat masyarakat Sembuluh. Meskipun lahan tersebut tidak bersertifikat, namun masyarakat telah menganggap hutan dan ladang yang ada di sekitar mereka merupakan milik bersama masyarakat desa. Masyarakat menganggap bahwa mereka lebih memiliki hak karena mereka lebih dahulu menempati area tersebut. Setelah tahun 1999, konteks politik nasional telah berubah, dan muncul kebebasan politik di tingkat masyarakat. PT AI kembali melakukan negosiasi dengan masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Kotim. Sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Kotim dan PT AI, setiap satu hektar lahan diganti dengan uang Rp 425.000. Pada tahun 1999, Danau Sembuluh masih termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kotim. Setelah UU UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dirilis, pemerintah daerah sangat mendukung pembangunan perkebunan sawit di wilayah Kecamatan Danau Sembuluh. Karena, perusahaan perkebunan dapat meningkatkan pendapatan daerah, termasuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan pendapatan masyarakat yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Hingga tahun 2001, telah terdapat 11 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Kabupaten Kotim, yaitu: PT. Agro Indomas, PT. Lestari Unggul Jaya, PT. Kridatama Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina Sawit, PT. Kerry Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati Prima, PT. Bumi Hutan Lestari, PT. Surya Barokah and PT. London Sumatera (Casson, 2001). Dengan 11 perusahaan tersebut, diharapkan dapat memproduksi 178.200 ton CPO per hari, dan 49.500 ton PKO per hari. Pemerintah Kabupaten Kotim berharap bahwa uang yang diputar untuk produksi di atas adalah 2.4 juta Dolar Amerika dan diharapkan meningkat lagi pada tahun 2005 menjadi 10 juta Dolar Amerika. Revenue yang diharapkan diperoleh dari pajak perusahaan adalah Rp 5.000 per ton minyak sawit yang diproduksi (Casson, 2001) Sejak tahun 2003, Kabupaten Kotim dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kotim, Kabupaten Seruyan, dan Kabupaten Katingan. Dari 11 perusahaan perkebunan tersebut, beberapa di antaranya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Seruyan, seperti PT Agro Indomas (PT AI), dan PT Kerry Sawit Indonesia (PT KSI).[12] Perubahan yang signifikan sejak dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 adalah soal kontrol dan pemberian izin pembangunan perkebunan yang dilakukan oleh pemerintahan di tingkat lokal. Sebelum ini, untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU), perusahaan perkebunan sawit harus mendapatkan rekomendasi dari dinas pertanian di tingkat provinsi yang dapat melepaskan lahan atas permintaan kementerian kehutanan dan perkebunan untuk melepaskan lahan hutan dan kantor menteri pertanian untuk melepaskan izin prinsip. Namun, seringkali, untuk mengurus proses izin tersebut dibutuhkan waktu antara lima hingga sepuluh tahun, dan dalam prosesnya membutuhkan biaya tambahan (suap) untuk mempercepat proses tersebut. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, diharapkan pemerintah pusat dapat menyerahkan izin alokasi kepada pemerintahan lokal di masa yang akan datang, sehingga proses-proses yang memperlambat pengurusan perizinan dapat diatasi.[13] Respon Masyarakat Atas Hadirnya Perkebunan Sawit di Sekitar Sembuluh Antara tahun 1996 hingga 1999, sebagian besar masyarakat Sembuluh masih menolak kehadiran perkebunan sawit di Sembuluh, namun, setelah 2001 banyak di antara masyarakat yang kemudian melepaskan tanahnya kepada perusahaan perkebunan sawit. Meskipun demikian, tidak berarti proses pendirian perkebunan sawit berjalan lancar, karena proses pelepasan lahan milik masyarakat kepada perusahaan perkebunan sawit berjalan lambat sehingga menghabiskan waktu banyak. Akibatnya, pihak perusahaan juga merasa dirugikan secara material atas tertundanya pendirian perkebunan sawit. Munculnya kelompok dalam masyarakat yang menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar tempat tinggal mereka telah menimbulkan konflik vertikal dan horisontal, yaitu antara masyarakat dengan pihak pengelola perkebunan sawit, dan antar kelompok dalam masyarakat. Meskipun perusahaan perkebunan sawit berhasil melakukan land clearing, penanaman kelapa sawit, di saat krisis ekonomi tengah berlangsung, namun mereka harus menghadapi penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Sembuluh, dan juga kelompok masyarakat sipil di tingkat nasional dan internasional (Casson, 2001). Terutama PT AI yang beroperasi di sekitar desa Sembuluh, mereka harus menghadapi demonstrasi dan sabotase yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang merasa dirugikan atas beroperasinya perkebunan kelapa sawit milik PT AI. Sejak awal masuknya PT AI[14] di sekitar Sembuluh memang sudah menimbulkan konflik. Proses masuknya PT AI sejak tahun 1995/1996, saat itu melakukan pengukuran dan land clearing tanpa ada proses perundingan dengan masyarakat Sembuluh. Kebun dan ladang yang terdapat di sekitar Sembuluh digarap tanpa sepengetahuan masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, BP, seorangstaf PT AI, mengakui bahwa perusahaan menerapkan strategi mengakuisisi lahan milik terlebih dahulu tanpa negosiasi dengan masyarakat. Strategi ini dilakukan sebelum tahun 1998, karena menurut pihak perusahaan telah memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Kotim. Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan milik masyarakat. Selain itu, konteks politik saat itu (masa rejim Orde Baru) memang memberikan peluang lebih besar kepada perusahaan daripada kepada masyarakat. Beberapa waktu kemudian masyarakat menjadi resah karena lahan tempat mereka berladang berubah menjadi area perkebunan sawit milik PT AI. Perusahaan membuat patok-patok dan membabat ladang beserta isinya dan kemudian menanamnya dengan tunas kelapa sawit. Karena merasa hak-haknya terabaikan, masyarakat mulai mengorganisir diri mereka untuk melakukan demonstrasi. Upaya demonstrasi dilakukan pertama kali oleh masyarakat pada 12 Juni 1997 ke DPRD Kabupaten Kotim (pada saat itu Desa Sembuluh masih merupakan bagian wilayah administratif Kabupaten Kotim). Pada saat itu, masyarakat Sembuluh bersama-sama dengan penduduk Dusun Lampasa dan Tabiku serta penduduk Desa Bangkal menuntut ganti rugi lahan yang diklaim milik mereka kepada PT AI. Demonstrasi yang diikuti sekitar 300 orang menyatakan bahwa sebanyak 113 lahan milik masyarakat yang nilainya sebesar Rp 400 juta belum dibayar oleh PT AI. Padahal, sebelumnya telah terjadi kesepakatan antara pihak masyarakat dengan PT AI. Masyarakat menganggap bahwa penundaan pembayaran ganti rugi lahan merupakan kesengajaan pihak perusahaan untuk mengulur-ulur waktu. Sesungguhnya, kejengkelan masyarakat terhadap PT AI tidak hanya berakar pada persoalan ganti rugi lahan yang belum dibayarkan. Tetapi, pada proses land clearing yang dilakukan oleh PT AI telah menyebabkan konflik antara masyarakat Desa Terawan dengan Desa bangkal (keduanya berbatasan langsung dengan Desa Sembuluh) karena persoalan batas tanah. Selain itu, terdapat makam yang dianggap keramat oleh masyarakat yang terletak di Sungai Dilam dekat Desa Terawan yang turut “dibersihkan” oleh PT AI. Hal lain yang dianggap merugikan masyarakat adalah cara PT AI membersihkan lahan dengan membakar hutan. Karena, selain menimbulkan dampak polusi, masyarakat juga sering menjadi sasaran tuduhan sebagai pembakar hutan oleh pemerintah. Merespons demonstrasi masyarakat tersebut, PT AI kemudian bersedia memberikan ganti rugi lahan tahap I yang dilakukan pada tahun 1998. Namun, ganti rugi tersebut tidak dianggap tidak memuaskan dari pihak masyarakat, karena PT AI hanya memberi Rp 50 per meter persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 per meter untuk lahan ladang dengan tanaman ringan. Namun pada saat yang, PT AI juga masih melakukan land clearing untuk memperluas area perkebunan sawit. Situasi tersebut membuat masyarakat semakin marah dan berencana melakukan aksi lebih lanjut. Pada 18 Oktober 1999 mereka melakukan aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan pemotongan jembatan milik PT AI pada 11 November 1999.[15] Aksi sabotase ini dipimpin oleh Wardian, salah satu tokoh masyarakat Sembuluh dan diikuti oleh 300 warga Sembuluh, dan Desa Bangkal serta Terawan. Adapun isu yang diangkat oleh masyarakat Sembuluh dalam aksi tersebut tidak hanya menuntut masalah ganti rugi lahan saja, tetapi masyarakat juga menuntut: Penyelesaian konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat; (1) Perusahaan harus menanggulangi bahaya yang akan mengancam akibat kerusakan lingkungan; (2) Perusahaan perkebunan harus dapat memberikan jaminan untuk meningkatkan kesejahteraan dimasa datang karena berbagai bidang usaha rakyat sudah banyak yang terganggu dan hilang. Konflik antara masyarakat Sembuluh dan PT AI telah menarik perhatian kalangan LSM lokal, dan nasional. Untuk LSM lokal, Yayasan Tahanjungan Tarung (YTT) telah hadir memberikan advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat Sembuluh. Kemudian, Walhi dan Sawit Watch merupakan LSM nasional yang sampai sekarang aktif memberikan dukungan dan advokasi terhadap masyarakat Sembuluh. Bahkan Down To Earth (DTE), sebuah LSM internasional juga turut mengkampanyekan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat Sembuluh. Kelompok-kelompok tersebut menganggap bahwa perusahaan telah mengambil lahan milik masyarakat tanpa mempertimbangkan pembayaran yang memadai, atau dalam beberapa kasus tidak ada kompensasi sama sekali, melanggar adat, dan meningkatkan konflik dan kemiskinan penduduk di sekitar perkebunan. Khususnya, penduduk yang menggantungkan hidupnya pada ladang dan hutan, karena perkebunan telah menempati lahan dan hutan yang biasanya digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai misal, DTE dalam terbitannya No. 49, Mei 2001 mengatakan bahwa di balik kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah tahun 2001 terdapat persoalan peminggiran secara ekonomi dan pembatasan akses sumberdaya alam tehadap masyarakat lokal.[16] Menurut DTE, masyarakat tidak bisa lagi hidup dari perkebunan hutan dan penebangan kayu skala kecil begitu perusahaan kayu menggunduli kayu-kayu yang bernilai. Tepatnya, sejak perusahaan perkebunan masuk untuk menghabiskan hutan yang tersisa, cenderung memanfaatkan pekerja pendatang daripada orang Dayak. Banyak diantara mereka adalah pendatang spontan, orang-orang dari pulau-pulau lain yang mencari kesempatan untuk mendapatkan tanah dan membangun usaha dagang kecil. Selain itu, DTE juga menulis kepada Clare Short, Menteri Inggris untuk Pembangunan Internasional pada Bulan Februari mendesak agar mengangkat kerusuhan Kalteng dalam pertemuan kreditur CGI Bulan April dan “menekan” pemerintah Indonesia untuk bertindak dalam masalah-masalah dibalik ini, termasuk penolakan hak adat atas tanah dan hak atas sumber-sumber lain. Surat itu juga menyatakan bahwa seharusnya departemennya mengambil tindakan, karena CDC, badan investasi swasta yang semua sahamnya dimilik DFID[17], sudah menanam modal di subsektor perkebunan kelapa sawit di Kalteng dan Kalbar.[18] Penduduk di dusun Lampasa dan Tabiku[19] merupakan komunitas yang paling terpengaruh atas pembangunan perkebunan sawit di sekitar tempat tinggal mereka. Karena, tempat tinggal mereka sangat dekat dengan lokasi perkebunan kelapa sawit. Pada saat saya melakukan penelitian lapangan yang kedua (Juli-Agustus 2005), telah hadir perusahaan perkebunan sawit yang baru, PT Hamparan, yang telah melakukan land clearing di sekitar satu kilometer dari perkampungan penduduk di dusun Tabiku. Ini berarti bahwa masyarakat Tabiku hanya memiliki lahan untuk berladang seluas satu kilometer dari kampung mereka. Sebelum perusahaan perkebunan berdiri, masyarakat menggantungkan hidupnya pada hutan, danau dan perladangan. Masyarakat Sembuluh tidak mengembangkan sistem pertanian permanen seperti petani di Jawa dan Bali, melainkan mengembangan sistem perladangan berpindah. Namun setelah hadir perkebunan di sekitar mereka, kini masyarakat harus mencari tempat yang sangat jauh, seringkali harus mencari lahan di luar desa mereka untuk mendapatkan bahan-bahan kayu dan non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Karena, akses terhadap lahan telah dibatasi oleh perusahaan perkebunan. Setelah tahun 1998, konflik antara PT AI dengan masyarakat Sembuluh semakin meningkat. Peningkatan itu ditandai dengan semakin seringnya masyarakat melakukan demonstrasi. Pemerintah Kabupaten Seruyan telah mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan konflik. Namun, upaya-upaya tersebut ditengarai oleh masyarakat Sembuluh sebagai pihak yang membela kepentingan perusahaan. Pemerintah sangat mendukung perusahaan perkebunan seperti PT AI karena mereka percaya bahwa perusahaan perkebunan akan menjadi sumber ekonomi yang penting bagi pemerintahan daerah dan dapat meningkatkan pemasukan daerah terutama di masa otonomi daerah. Karena, jika pembangunan perkebunan milik PT AI berhasil, pemerintah daerah berharap akan dapat menarik investor lebih banyak lagi ke wilayah mereka. Di sisi lain, upaya untuk melindungi perusahaan dari sabotase masyarakat juga dilakukan oleh PT AI dengan mendatangkan 23 orang Pasus dari kelompok masyarakat Dayak Kahayan dan Maanyan (YTT, 2001). Pasus ini dipekerjakan oleh PT AI sebagai Satuan Pengamanan (Satpam) perusahaan, yang kebanyakan dari mereka adalah milisi sipil yang pernah terlibat pada konflik etnis di Sampit pada 2001- 2001 lalu.Tim YTT (2001) mensinyalir bahwa tujuan dari pihak perusahaan merekrut mereka adalah untuk mengintimidasi masyarakat agar masyarakat tidak berani demonstrasi atau mengganggu kelancaran operasional perusahaan.[20] Melihat dari indikasi akan terjadinya konflik kekerasan di atas, Pemerintah Kabupaten Kotim menfasilitasi terbentuknya tim kecil untuk menyelesaikan konflik tanah yang terjadi antara masyarakat dengan PT AI. Tim tersebut terbentuk pada 10 Februari 2001, yang beranggotakan masing-masing lima orang dari tiap desa (Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Dukuh Lanpasa, Desa Terawan, Desa Bangkal). Tugas tim kecil tersebut adalah untuk memnverifikasi data-data lahan yang tumpang tindih. Namun tim ini ditolak oleh masyarakat karena ganti rugi lahan yang ditetapkan oleh tim ini sangat kecil. Lahan-lahan milik masyarakat hanya diganti sebesar Rp 40.000 per hektar, dan pihak perusahaan tidak akan mempertimbangkan apakah di lahan tersebut terdapat tanam tumbuhnya atau tidak. Padahal, tim sebelumnya yang dibentuk oleh masyarakat, yang disebut dengan “Tim 9” pada 26 Oktober 2000, telah menetapkan harga tanah yang terdapat tanam tumbuhnya seharga Rp 600.000, per hektar dan yang tidak ada tanam tumbuhnya Rp 400.000. per hektar. Namun, perusahaan tidak mematuhi keputusan yang dibuat “tim 9” tersebut, dan tetap mengacu pada pertemuan tanggal 10 Februari 2001 dengan dalih telah disaksikan aparat Pemerintah Kabupaten Kotim. Pada saat proses negosiasi berlangsung, masnyarakat menganggap bahwa PT AI tidak memperlihatkan hubungan sosial yang terhadap masyarakat Sembuluh dan sekitarnya. Pihak perusahaan hanya berkomunikasi dengan masyarakat jika ada keperluan yang berkaitan dengan persoalan ganti rugi tanah. Menurut laporan YTT, pihak PT AI hanya menjalin hubungan sosial secara baik dengan masyarakat dari Desa Terawan. Hal ini dikarenakan kebanyakan tenaga kerja perusahaan berasal dari desa tersebut. Karena hubungan baik dengan perusahaan tersebut, hampir sebagian besar penduduk Desa Terawan bersedia melepas lahan mereka kepada perusahaan. Bahkan tidak jarang para pekerja tersebut menjadi tameng saat terjadi konflik dengan masyarakat Sembuluh dan desa-desa lain. Pada tahun 2000-2003, persoalan limbah dari pabrik CPO PT AI juga mewarnai pembicaraan masyarakat sehari-hari. Meskipun, limbah hasil pembuangan sisa pengolahan CPO tersebut di tampung di tempat- tempat penyaringan yang telah dipersiapkan sebanyak 10 tahapan, namun pada saat hujan turun tidak menutup kemungkinan meluap dan kekhawatir masyrakat akan mengalir ke aliran-aliran sungai di daerah Desa Terawan. Pada saat itu, pihak perusahaan mengantisipasi dengan menyedot limbah tersebut ke mobil-mobil truk tangki yang kemudian akan di semprotkan ke kebun-kebun sawit mereka. Hasil monitoring yang dilakukan oleh YTT (2001), terdapat empat anak sungai dari Sungai Rungau berpotensi terkena pencemaran dari hasil limbah yang di timbulkan oleh pabrik CPO PT AI, yaitu: Sungai Ramania, Sungai Dilam, Sungai Teluk Pikin, dan Sungai Tabang Tangkung. Berbeda dengan persoalan yang dihadapi di Lampasa, masyarakat khawatir dengan dampak dari pemupukan yang di lakukan pihak perusahaan PT AI terhadap tanaman sawit yang sangat dekat dengan Sungai Peringi. Pupuk yang ditengarai penuh dengan bahan kimia tersebut, jika musim penghujan dikuatirkan akan mengalir ke Sungai Peringi tempat penduduk Lampasa biasa mandi, mencuci, dan mengambil air untuk dimasak. Dirilisnya UU No. 22 dan 25 tentang Otonomi Daerah (Otda), tidak sekaligus memudahkan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam di sekitarnya. Tetapi sebaliknya, pemerintahan kabupaten Kotim semakin menunjukkan keberpihakan dan dukungannya kepada PT AI, dan juga perusahaan-perusahaan perkebunan sawit lainnya. Hal ini terbukti dengan diberikan kemudahan bagi perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di sana, sedangkan di lain pihak lahan masyarakat semakin dipersempit. Hingga bulan Juni 2000, terdapat 11 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah tersebut, yaitu PT. Agro Indomas, PT. Lestari Unggul Jaya, PT. Kridatama Lancar, PT. Musi Rawas, PT. Bina Sawit, PT. Kerry Sawit, PT. Uni Primacom, PT. Hati Prima, PT. Bumi Hutan Lestari, PT. Surya Barokah, dan PT. London Sumatera. Pemerintah daerah berkeyakinan bahwa perusahaan perkebunan sawit merupakan komoditas andalan masa depan bagi Kabupaten Kotim karena dapat meningkatkan pendapat asli daerah (Casson, 2001). Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, pada tahun 2003 Kabupaten Kotim dimekarkan menjadi tiga wilayah kabupaten, di mana wilayah Kecamatan Danau Sembuluh menjadi bagian dari Kabupaten Seruyan. Sebagai kabupaten baru, Seruyan mempunyai beban yang sangat besar karena jika dalam lima tahun pertama gagal menjalankan aktivitasnya secara mandiri maka seluruh wilayah Seruyan akan dikembalikan ke Kabupaten semula (Kotim). Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan PAD dengan cara mendatangkan investor dalam subsektor sawit sebanyak mungkin. Akibat dari upaya-upaya untuk meningkatkan PAD tersebut telah mengabaikan kepentingan masyarakat. Upaya Bupati Seruyan untuk menarik investor asing di subsektor perkebunan sawit dianggap oleh sebagian masyarakat Sembuluh sebagai “kebijaksanaan gila-gilaan” karena dapat menghancurkan kehidupan masyarakat lokal (Acciaioli, 2005). Kebijakan yang dibuat bupati telah menimbulkan konflik sosial, baik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit maupun antar kelompok masyarakat sendiri. Selain itu, figur dari Bupati Seruyan H. Darwan Ali juga ditengarai sebagai pihak yang tidak membela kepentingan masyarakat.[21] Sebelum menjadi bupati, dia adalah seorang kontraktor dan pengusaha yang menjalankan aktivitasnya di Sampit (ibukota Kabupaten Kotim) dan Kuala Pembuang (ibukota Kabupaten Seruyan). Kemudian, pada pertengahan tahun 1990 an, H. Darwan Ali mulai aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan kemudian berhasil meraih posisi sebagai kepala cabang Kabupaten Kotim. Sebagai pengusaha, H. Darwan Ali tidak dapat dikatakan sukses, bahkan beberapa kali hampir bangkrut, tapi berhasil bangkit karena pada dasarnya ulet dan licin. Sebelum menjadi bupati, dia pernah dikabarkan terjerat hutang dalam jumlah yang besar, namun kabar tersebut tidak terdengar lagi setelah menjabat bupati. Menurut informasi dari staf Pemkab Seruyan, H. Darwan Ali memiliki saham di beberapa perusahaan perkebunan sawit yang ada di Kecamatan Danau Sembuluh.[22] Oleh karena itu, wajar jika H. Darwan Ali cenderung membela kepentingan perusahaan perkebunan sawit daripada kepentingan masyarakat. Pada tahun 2003, satu lagi perusahaan perkebunan sawit, yaitu PT KSI beroperasi di sekitar Sembuluh.[23] Berbeda dengan kasus PT AI, PT KSI relatif tidak menimbulkan konflik kekerasan dengan masyarakat Sembuluh. Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, segala ketentuan mengenai persoalan ganti rugi tanah masyarakat telah dinegosiasikan dengan penduduk sebelum perusahaan mulai melakukan land clearing. Berbeda dengan PT AI yang menggarap lahan terlebih dahulu baru kemudian dinegosiasikan, PT KSI akan menggarap lahan jika persoalan ganti rugi sudah benar-benar selesai. Hal ini juga dikarenakan pengaruh reformasi di mana masyarakat semakin berani menuntut kepada perusahaan maupun pemerintah jika haknya dilanggar. Kedua, jumlah masyarakat yang ingin menjual lahannya juga semakin besar, dan masyarakat yang menolak menjual lahan juga semakin sedikit. Setelah tahun 2003, masyarakat Sembuluh tidak lagi malu-malu menjual lahan yang diklaim miliknya kepada perusahaan perkebunan sawit. Bahkan beberapa masyarakat ada yang menjadi calo penjualan tanah milik masyarakat kepada perusahaan perkebunan sawit. Ketiga, mengenai harga lahan per hektar telah banyak dibahas sebelumnya dengan PT AI dan Pemerintah Kabupaten Seruyan, sehingga PT KSI hanya perlu menyesuaikan dengan pembahasan sebelumnya. Meskipun belum ada keputusan, namun antara tuntutan masyarakat dengan ketentuan perusahaan sudah jelas (namun belum ada kesepakatan), mengenai harga per hektar dan juga mengenai tanam tumbuh tanaman yang akan dihargai berdasarkan umur, dan jenis tanaman. Pemerintah Kabupaten Seruyan memang telah menentukan harga ganti rugi lahan per hektar adalah Rp 350 ribu, namun masyarakat belum sepakat dengan ketentuan tersebut. Namun demikian, tidak berarti tidak ada konflik sama sekali. Seperti akan dibahas di sub bab berikutnya, konflik tidak lagi antara masyarakat dengan perusahaan, tetapi juga antar kelompok dalam masyarakat, bahkan antara sesama masyarakat yang ingin menjual lahan mereka kepada perusahaan perkebunan. Pada tanggal tanggal 5 Februari 2003, diadakan pertemuan antara masyarakat dengan PT KSI di Gedung SD Sembuluh II-I.[24] Pertemuan tersebut di hadiri oleh Pihak PT KSI, yaitu manajer PT KSI, H. Rahman, dan empat orang staf lapangan, aparat keamanan, yaitu Kapolsek Danau Sembuluh, Ray Saputra, dan dua orang anak buahnya, Sutiyono, Mardi, serta Danramil Danau Sembuluh. Dari pihak masyarakat hadir Kades Sembuluh I, Bambang Wahyudi,[25] dan tokoh masyarakat Desa Sembuluh I dan Sembuluh II. Acara yang dipandu oleh Kades Sembuluh I tersebut membicarakan tentang sejauh mana masyarakat dapat menerima kehadiran perusahaan perkebunan sawit di wilayah mereka. Pada kesempatan tersebut, sebagian masyarakat meminta ganti rugi lahan yang diambil oleh PT KSI dengan nilai sebesar Rp 1 juta per hektar. Beberapa di antara masyarakat ada pula yang meminta mengganti tanaman sawit dengan tanaman karet jika sistem plasma nanti dijalankan. Selain itu, terdapat sebagian masyarakat yang tidak dapat menerima sawit sama sekali, dengan alasan kelangsungan hidup mereka. Tapi di lain pihak terdapat pula sebagian masyarakat yang sangat setuju sekali, karena kehadiran perkebunan kelapa sawit dapat memberi peluang pekerjaan. Kedua kelompok ini berdebat secara tajam sehingga hampir terjadi perkelahian antar kelompok masyarakat sendiri. Karena Kades Sembuluh I tidak dapat memandu lagi, maka pemandi rapat diambil oleh Kapolsek Danau Sembuluh. Suasana menjadi semakin panas dan kelompok masyarakat yang menolak kehadiran perkebunan sawit keluar dari pertemuan. Dan pertemuan tersebut tetap berlangsung dengan di hadiri kelompok masyarakat yang pro perusahaan perkebunan kelapa sawit. Alhasil, segala keputusan yang dibuat dalam rapat tersebut ditolak oleh kelompok yang anti perusahaan perkebunan sawut. Setelah pertemuan tersebut, kelompok masyarakat yang menolak perkebunan sawit berkumpul untuk menyikapi persoalan tersebut dan menghasilkan adanya surat pernyataan sikap yang di tujukan pada Bupati Kabupaten Seruyan (Kuala Pembuang) dan di tembuskan pada instansi serta Gubernur Daerah TK I Palangkaraya. Selain itu, masyarakat juga membuat surat kepada Kapolda Kalteng untuk mengadukan Kapolsek yang di nilai intimidatif serta terlalu banyak mencampuri persoalan di pertemuan tersebut dengan keterlibatannya mengambil alih acara. Pada tahun 2004, satu lagi perusahaan perkebunan sawit, yaitu PT Salonok Ladang Mas (SLM) mulai beroperasi di sekitar Sembuluh. Meskipun baru beroperasi pada tahun 2004, PT SLM telah mendapatkan izin pada 16 Maret 2001 dengan nomor HK.350/205/Bun.5/III/2001 dengan luas brutto area 17.500 hektar dan luas netto 12.000 hektar. Namun, aktivitas dari PT SLM masih tahap negosiasi dengan masyarakat dan untuk lahan-lahan yang sudah jelas statusnya telah dilakukan land clearing. Hingga penelitian ke lapangan pada pertengahan tahun 2005, PT SLM masih melakukan negosiasi dengan masyarakat. Sikap Masyarakat terhadap Perkebunan Sawit Seperti diberitakan di berbagai media, terutama media lokal, pada waktu proses pembukaan lahan untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat Sembuluh. Selain konflik, masuknya perusahaan perkebunan sawit telah menimbulkan beragam respon dari masyarakat Sembuluh. Pertama, masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar desa mereka karena hampir kebanyakan lokasi perusahaan menempati lahan milik masyarakat. Kedua, masyarakat yang menerima dengan senang hati karena diuntungkan dengan proses pembangunan perkebunan sawit. 1. Kelompok Masyarakat yang Menolak Perkebunan Sawit Sebagian masyarakat Sembuluh menganggap bahwa perusahaan perkebunan akan menghalangi akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka, dalam hal ini hutan dan ladang tempat bekerja masyarakat. Alasan masyarakat Sembuluh menolak hadirnya perkebunan sawit karena perusahaan perkebunan sawit dianggap akan mengambil alih lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber penghidupan mereka. Selain itu, masyarakat tidak menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan yang menyerobot lahan milik mereka secara langsung tanpa membicarakannya terlebih dahulu. Noveria dkk., (2005) menyatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa masyarakat yang menolak kehadiran perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya ladang dan hutan tempat masyarakat bekerja. Mayoritas masyarakat Sembuluh adalah peladang dan pencari kayu, atau setidak-tidaknya mereka pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Seperti disebutkan di bab sebelumnya, masyarakat Sembuluh adalah peladang berpindah. Mereka membuka hutan, kemudian berladang selama dua hingga lima tahun dan setelah dianggap tidak subur mereka akan meninggalkan ladang tersebut untuk mencari ladang yang baru lagi. Namun, dengan hadirnya perkebunan sawit dalam skala yang besar, maka masyarakat Sembuluh tidak dapat melakukan aktivitas berladang lagi. Kedua, adalah mereka yang dengan kesadarannya berusaha untuk melindungi masa depan lingkungan sosial dan ekonominya. Untuk kelompok yang kedua ini jumlahnya sangat sedikti (minoritas). Mereka menolak perkebunan sawit karena tahu bahwa kehidupan sosial dan ekonominya sedang terancam. Lahan bagi mereka adalah salah satu dari sumber utama penghidupan masyarakat yang harus dijaga kelestariannya. Mereka telah berpikir bahwa anak cucu mereka juga berhak atas lahan yang mereka gunakan sekarang sehingga mereka tidak berhak menjualnya kepada siapapun, termasuk kepada perusahaan perkebunan. Mereka tahu bahwa perusahaan perkebunan akan membabat habis lahan mereka dan akan menjadikannya kebun dengan satu jenis tanaman (monokultur) yang sama sekali baru bagi masyarakat Sembuluh. Pembabatan ini akan berpengaruh pada rusaknya ekosistem yang ada di lingkungan mereka. Sebagaimana dipahami oleh kelompok ini bahwa serangan hama belalang yang kian hari kian besar merupakan pengaruh dari perkebunan sawit. Pencemaran lingkungan juga menjadi salah satu kekhawatiran mereka, baik akibat pemakaian pupuk kimia untuk pohon sawit maupun pencemaran akibat beroperasinya pabrik pengolahan CPO. Masyarakat yang menentang perkebunan sawit tersebut sebagian besar adalah bekas peladang, pedagang, juga aparat pemerintah desa yang cukup gigih mempertahankan lahan miliknya. Beberapa diantara mereka, secara ekonomi sudah cukup mapan dan tidak perlu terlalu khawatir akan kehilangan sumber penghasilan dari lahan yang akan ditempati oleh perusahaan perkebunan. Rusaknya lingkungan alam sehingga generasi muda di wilayah tersebut kemungkinan akan mengalami berbagai akibat buruk di masa mendatang hal inilah yang menjadi fokus utama kekhawatiran mereka. 2. Kelompok Masyarakat yang Mendukung Perkebunan Sawit Sebagian masyarakat Sembuluh dapat menerima kehadiran perkebunan sawit di sekitar mereka karena merasa diuntungkan dengan proses pembangunan perkebunan sawit. Misalnya adalah para penduduk yang merasa memiliki lahan yang luas, para makelar tanah, penduduk yang tidak memiliki tanah namun terlibat dalam pembebasan lahan, dan sebagian aparat pemerintahan desa, aparat kecamatan serta aparat kabupaten, dan juga para pegawai perusahaan. Kelompok ini merupakan pendukung utama perkebunan sawit. Masyarakat yang dikategorikan sebagai pendukung perkebunan sawit karena secara terang-terang mendukung program tersebut dan mereka yang dengan sukarela menjual lahannya untuk perusahaan perkebunan sawit. Di antara mereka bahkan ada yang menjadi agen aktif, yaitu secara aktif mempengaruhi anggota masyarakat lainnya untuk mendukung program perkebunan sawit atau mempengaruhi orang lain untuk menjual lahannya kepada perusahaan perkebunan sawit. Beberapa agen aktif ini adalah aparat desa yang mempunyai posisi penting dan pengaruh yang kuat di masyarakat. Mereka ini biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan perusahaan (Noveria dkk., 2005). Dilihat dari motivasinya, Noveria dkk. (2005) menyatakan terdapat dua kelompok yang dapat dinyatakan sebagai pendukung program perkebunan sawit. Pertama adalah kelompok yang menjual lahannya karena alasan untuk mendapatkan uang. Kebutuhan akan barang-barang dan gaya hidup yang mewah telah menyebabkan sebagian masyarakat memerlukan uang dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cepat. Meskipun Sembuluh adalah desa terpencil, namun sebagian masyarakat telah terpengaruh oleh budaya konsumen seperti yang terjadi di kota-kota besar. Misalnya, banyaknya barang-barang elektronik dan gaya hidup yang relatif mewah telah menjadi pemandangan sehari-hari di Sembuluh. Kedua adalah kelompok yang secara sadar menjual lahannya karena mereka tidak dapat menolak program perkebunan sawit yang secara nyata didukung oleh pemerintah. Sebagian penduduk melihat bahwa program perkebunan sawit adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah yang harus dipatuhi. Juga menyadari bahwa mereka tidak mungkin menang melawan kolaborasi antara perusahaan besar dan pemerintah. Selain memiliki modal finansial yang besar, lawan yang dihadapi adalah berkuasa sekali. Di sisi lain, perusahaan juga menawarkan uang yang cukup besar dan dalam waktu yang cepat. Maka dari itu, tidak ada pilihan bagi penduduk untuk menerima program perkebunan sawit.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda